Kajian Ilmiah Kimia Aromaterapi dan Mekanisme Kerjanya dalam
Mempengaruhi Sistem Syaraf Pusat
Oleh :
Muchtaridi
Fakultas Farmasi FMIPA UNPAD
ABSTRAK
Aromatherapy
is a branch of complementary or alternative therapy which is increasing in
popularity, yet has scant scintific credibility, because there is very little
objective evidence. Serious scientific work on the biological effect of
volatiles or aromatherapy, especially essential oils, was compiled with aim put
a clear line demarcation between a scientifically based aromatherapy and such
aromatheapy as is widely practiced today.
There are knew that the effects of aroma have instant reactions in the
brain. As mechanism of aroma effects, the moleculee travel via the nose to the
olfactory bulb and on to the limbic system of the brain. This mechanism effects
can changed locomotor activity in human and animals.
PENDAHULUAN
Aromaterapi merupakan salah satu
alternatif pengobatan yang popularitasnya semakin meningkat, namun belum
mempunyai keberadaan ilmiah di dunia kesehatan. Aromaterapi didefinisikan
sebagai perlakuan dengan menggunakan bau-bauan atau wangi-wangian, biasanya
minyak tumbuhan (essential oil) sering digunakan untuk membantu
pemijatan.
Awal
tahun 1999, penelitian tentang mekanisme kerja senyawa aroma baik secara
farmakologi maupun secara kimia medisinal semakin ramai. Hal ini terjadi
seiring dengan meningkatnya popularitas aromaterapi (Balchin, 1999). Berbagai postulat
mengenai bagaimana mekanisme kerja senyawa aroma hingga mempengaruhi
tingkah laku objek yang menghirupnya telah dipublikasikan. Namun secara umum,
bagaimana senyawa itu bekerja pada sistem syaraf telah lama dikemukakan.
Buckle (1999) mengemukakan bahwa ada dua mekanisme kerja senyawa aroma pada
sistem syaraf pusat, yaitu melalui sistem sirkulasi tubuh dan sistem penciuman
(Olfactory system). Mekanisme kerja
senyawa aroma pada sistem syaraf pusat terhadap sistem g-aminobutiric acid (GABA) lebih rinci
diterangkan oleh Aoshima et al. (1996, 1997, 1999 dan 2001) dan Hossain et
al. (2002).
Minyak atsiri akan diserap oleh
tubuh bila diminum atau dioleskan pada permukaan kulit. Senyawa-senyawa volatil
dalam minyak atsiri akan dibawa ke sirkulasi tubuh yaitu sirkulasi darah dan
sirkulasi limfatik (berkaitan dengan getah bening), melalui proses pencernaan
dan penyerapan kulit oleh pembuluh-pembuluh kapiler. Pembuluh-pembuluh kapiler
tersebut akan mendistribusikan senyawa volatil ke organ-organ sasaran (Buckle,
1999).
2. Sistem
Penciuman
Senyawa
aroma yang relatif mudah menguap masuk ke dalam rongga hidung dengan cara
diinhalasi, molekul-molekul aroma yang dinhalasi diterima sistem olfactory. Pada sistem itu, molekul
aroma akan diterima oleh sel syaraf olfactory
ephitelium. Sel syaraf ini memiliki 50 juta sinaps (ujung sel syaraf),
kemudian molekul aroma tersebut dikirim dalam bentuk pesan ke pusat penciuman
yang terletak di bagian belakang hidung. Sel-sel syaraf menterjemahkan bau
tersebut dan mengirimkanya ke sistem limbik dalam otak yaitu talamus. Talamus terdiri dari
hipotalamus dan hipofisis (Aoshima et al., 2001; Buckle,1999; Davis dan
Whalen, 2001).
3. Kerja Senyawa Aroma pada
Sistem GABA
Aoshima dan Hamamoto
(1999) menjelaskan bahwa senyawa-senyawa aroma (citronellol, citronellal, a-pinen, cineole, 4-terpineol, dan a-terpineol) berikatan pada
bagian a dan b GABA. Penelitian ini membuktikan bahwa senyawa aroma yang masuk baik
melalui kulit, hidung, ataupun mulut dapat memodulasi transmisi syaraf dalam
otak pada reseptor GABAA hingga mempengaruhi rasa mood
dan kecerdasan.
Penjelasan ini dikemukakan dengan
hipotesis bahwa senyawa-senyawa sedatif seperti benzodiazepine, barbiturate,
steroid dan anestetika bekerja dengan cara yang sama. Hasil penelitian
ini merupakan perkembangan pesat bagi aromaterapi. Gambaran peningkatan
postesiasi GABA dengan ikatan sisi reseptor GABAA senyawa aroma
diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1.
Pengaruh senyawa aroma pada respon kerja GABA*
Senyawa
|
Respon dalam persen (%)
|
|||
10 mL
GABA
|
30 mL
GABA
|
100 mL
GABA
|
1000 mL
GABA
|
|
Kontrol
|
100
|
100
|
100
|
100
|
Lavender
terapi 0,1 mL/ml
|
188+12
|
147+11
|
113+6
|
91+4
|
0,63
mM a-pinene
|
149+16
|
157+9
|
98+2
|
117+12
|
0,65
Eugeunol
|
356+58
|
234+21
|
140+3
|
102+10
|
0,55
mM Citronellol
|
301+32
|
146+12
|
101+5
|
92+2
|
0,56
mM Citronellal
|
224+11
|
123+6
|
108+7
|
90+1
|
0,84
mM Alkohol dari daun segar
|
218+11
|
142+1
|
135+5
|
94+2
|
0,61
mM Hinocitiol
|
297+16
|
132+6
|
91+0
|
102+2
|
* Diambil dari
Aoshima dan Hamamoto (1999)
Citronellol memberikan respon
terhadap reseptor GABAA. Kerja senyawa tersebut mirip dengan benzodiazepine
yang mempotensiasi neurotransmitter GABAA. Seperti yang
terlihat pada Tabel 1, pada konsentrasi 0,55 mM citronellol memberikan
kenaikan respon terhadap 10 mM GABA sebesar 301 %, sedangkan
respon terhadap GABA dengan konsentrasi 30 mM hanya sebesar 146 %.
Minyak atsiri atau kombinasi
seyawa-senyawa atsiri akan memberikan respon lebih baik terhadap GABA
dibandingkan dengan senyawa tunggalnya, hal ini dibuktikan jika tiga senyawa
terpen dengan gugus yang berbeda dikombinasikan, seperti yang terlihat pada
Tabel 2.
Pada Tabel 2,
kombinasi senyawa-senyawa atsiri golongan terpen alkohol, aldehida, eter, dan
keton memberikan respon yang lebih tinggi terhadap GABA dibandingkan dengan
senyawa tunggalnya. Berikut kombinasi senyawa-senyawa atsiri berbagai gugus
fungsi disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2* Perbandingan potensiasi terhadap GABA dari 4-terpinenol, citral,
cineole, dan butanol dan kombinasinya.
Senyawa
|
Respon (GABA 1 mM) %
|
|
a.
|
4-Terpineol (0,61 mM)
dan citral 0,58 mM)
|
|
1. Kontrol
|
100
|
|
2. 4-Terpineol
|
575 + 53
|
|
3. Citral
|
218 + 22
|
|
4. Kombinasi
|
400 + 80
|
|
b.
|
4-Terpineol (0,61 mM)
dan cineole (0,60 mM)
|
|
1. Kontrol
|
100
|
|
2. 4-Terpineol
|
697 + 62
|
|
3. Cineole
|
370 + 21
|
|
4. Kombinasi
|
457 + 42
|
|
c.
|
4-Terpineol (0,61 mM)
dan butanol (11 mM)
|
|
1. Kontrol
|
100
|
|
2. 4-Terpineol
|
606 + 21
|
|
3. 1-Butanol
|
316 + 22
|
|
4. Kombinasi
|
609 + 21
|
* Aoshima et al. (2001)
Kimia Analisis Senyawa Aromaterapi dan Analisisnya
Senyawa-senyawa kimia
yang memiliki efek farmakologi dalam aromaterapi dapat digolongkan ke dalam
berbagai golongan senyawa, yaitu :
-
golongan terpen alkohol : linalool, a-terpineol, 4-terpineol,
citronellol, neo-isopulegol dan isopulegol
-
golongan aldehida : benzaldehyde, citronellal, citral,
dan geranial
-
golongan terpen eter : 1,8-cineole, myristicin dan
safrole.
-
golongan ester : linalyl acetate, geranyl acetate, dan
ester berantai karbon panjang (methyl myristate, methyl palmitate, methyl
oleate dan methyl stearate)
-
golongan hidrokarbon terpen : a-pinene, b-pinene, 3-carene,
limonene dan a-terpinene, (E)-caryophillene
dan a-humulene.
1. Terpen Alkohol
Senyawa-senyawa terpen alkohol yang teridentifikasi
adalah linalool, a-terpineol, 4-terpineol, citronellol, neo-isopulegol dan isopulegol.
![]()
Linalool
|
![]()
a-Terpineol
|
![]()
Citronellol
|
![]()
Isopulegol
|
![]()
4-Terpineol
|
![]()
Neoisopulegol
|
Gambar 1. Struktur terpen alkohol
Dari strukturnya (Gambar 12), semua senyawa golongan
terpen alkohol yang ditemukan merupakan golongan monoterpen dengan satu gugus
–OH. Linalool, nerol, 4-terpineol dan geraniol yang
memiliki dua ikatan rangkap, sedangkan selain itu memiliki satu ikatan rangkap.
Gugus –OH pada terpen alkohol diduga kuat memberikan peran pada mekanisme kerja
farmakologi senyawa di atas. Gugus –OH meningkatkan frekuensi pembukaan saluran
Cl- sel syaraf, sehingga membantu meningkatkan kerja GABA pada
reseptornya (Aoshima et al. (2001). Hossain et al. (2002)
menegaskan bahwa beberapa senyawa-senyawa alkohol termasuk terpen alkohol
berikatan dengan GABA dan mempotensiasi kerja reseptor GABA sehingga saluran Cl-
terkonduksi, dan kerja syaraf diperhambat. (Aoshima et
al., 2001; Nakahiro et al., 1991).
Linalool
Linalool meruapakan salah satu yang sering disebut sebagi senyawa
aktif yang bertanggung jawab dalam penghambatan aktivitas lokomotor hewan atau
manusia dalam mekanisme kerja aromaterpi, hal ini dibuktikan oleh hasil
penelitian (Buchbauer et al., 1993; Aoshima et al., 2001,
Muchtaridi et al., 2003). Menurut
Buchbauer et al. (1993), linalool dengan (senyawa tunggal) dosis
2 % memberikan penurunan aktivitas lokomotor 30 % hingga 50 % pada mencit,
namun lebih kecil dibandingkan dengan penurunana aktivitas lokomotor setelah
inhalasi minyak lavender yang banyak mengandung linalool. Kombinasi linalool,
linalyl acetate dan a-terpineol memberikan
penurunan aktivitas lokomotor yang lebih besar dibandingkan dengan senyawa
tunggal linalool (Aoshima et al., 2001).
a-Terpineol dan 4- Terpineol
Muchtaridi et al. (2003)
menjelaskan senyawa 4-terpineol hampir terdeteksi pada semua sampel
darah mencit setelah inhalasi minyak atsiri yang mengandung 4-terpineol.
Senyawa a-terpineol dan 4-terpineol pada penelitian tersebut sangat dimungkinkan
merupakan senyawa yang bertanggung jawab dalam penghambatan aktivitas lokomotor
mencit. Selain
itu, dibuktikan pula oleh penelitian sebelumnya (Aoshima et al., 2001).
Aoshima et al. (2001) melaporkan bahwa kedua senyawa tersebut memberikan
efek yang sama terhadap sistem GABA. Potensiasi
reseptor GABAA oleh senyawa-senyawa ini sangat kuat pada
konsentrasi kecil, namun 4-terpineol memberikan aktivitas lebih kuat
dibandingkan a-terpineol.
Citronellol
Citronellol memberikan
respon terhadap reseptor GABAA. Kerja senyawa tersebut mirip dengan benzodiazepine
yang mempotensiasi neurotransmitter GABAA. Pada
konsentrasi 0,55 mM citronellol memberikan kenaikan respon terhadap 10 mM GABA sebesar 301 %, sedangkan respon terhadap GABA
dengan konsentrasi 30 mM hanya sebesar 146 % (Aoshima dan Hamamoto, 1999).
Senyawa isopulegol terdeteksi
dalam plasma darah mencit setelah inhalasi minyak kulit batang ki lemo selama 1
jam dan 2 jam, sedangkan senyawa neo-isopulegol hanya terdeteksi pada
inhalasi 1 jam saja. artinya, ketersediaan hayati isopulegol lebih lama
dibandingkan dengan neoisopulegol, meskipun kedua senyawa tersebut
memiliki struktur yang sama (Gambar 13). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh
pengaruh kesterikannya.. Artinya, perbedaan aktivitas antara neo-isopulegol
dan isopulegol diduga dibedakan oleh adanya pengaruh efek sterik,
seperti halnya terjadi pada isoborneol dan borneol. Menurut
Buchbauer et al. (1993), isoborneol lebih aktif dalam menurunkan
aktivitas lokomotor dibandingkan borneol karena perbedaan kesterikan
gugus hidroksil pada senyawa tersebut.
2. Aldehida
Benzaldehyde, citronellal, neral, dan geranial merupakan golongan aldehida
merupakan senyawa yang berperan dalam menimbulkan mood, karena seperti halnya
terpen alkohol, terpen aldehida bekerja dengan mempotensiasi GABA, namun
responnya tidak lebih besar dibandingkan dengan terpen alkohol (Aoshima et
al., 2001).
Benzaldehyde
Benzaldehyde ditemukan
hanya dalam plasma darah mencit setelah inhalasi minyak daun kayu putih,
meskipun kadar senyawa ini dalam minyak atsiri tersebut sangat kecil. Senyawa
ini diperkirakan senyawa aktif pada penelitian ini karena pada penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Buchbauer et al. (1991) diterangkan bahwa
senyawa tunggal benzaldehyde dapat menurunkan altivitas lokomotor hingga
50 %, namun tidak lebih besar penurunannya dibandingkan benzyl alcohol (76
%), tetapi kombinasi keduanya dalam minyak atsiri Tilia cordata MILL
memberikan aktivitas penurunan yang lebih besar (98 %).
Citronellal
Citronellal sangat
mendominasi dalam plasma darah mencit setelah inhalasi minyak kulit batang ki
lemo terutama setelah inhalasi 1 jam (389,3 mg/ml). Pada penelitian ini, citronellal
dimungkinkan merupakan senyawa aktif yang bertanggung jawab dalam menurunkan
aktivitas lokomotor, hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Aoshima dan Hamamoto (1999). Citronellal 0,56 mM memberikan respon
sebasar 224 % dengan 10 mM GABA, namun kemampuan citronellal dalam menghambat aktivitas
lokomotor tidak lebih besar dibandingkan dengan kemampuan citronellol
(Aoshima dan Hamamoto, 999). Hal ini dapat diperbandingkan dengan melihat
perbedaan aktivitas antara senyawa hexanol dan hexanal, seperti yang terlihat pada Gambar
14. Respon hexanol lebih besar dibandingkan hexanal jika dilihat
dari tinggi puncak responnya.
|

2. Terpen Eter
Eter hidrokarbon berbobot molekul rendah memberikan
aktivitas anestetik kuat. Aktivitas ini, beserta toksisitasnya, akan meningkat
bila panjang rantai bertambah. Selain lipofilitasnya tinggi, eter pun mudah
menguap, sehingga sifat anestetik eter sangat kuat (Foye, 1981). Pada
penelitian ini, 1,8-cineole, safrole dan myristicin
merupakan turunan eter yang teridentifikasi dalam plasma darah mencit setelah
inhalasi minyak atsiri. Ketiga senyawa ini telah dibuktikan aktivitasnya dalam
mempengaruhi sistem syaraf pusat (Lee et al., 1998; Kovar et al.,
1987; Stein et al., 2001).
1,8-Cineole
1,8-Cineole merupakan
terpen eter bisiklik seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur 1,8-cineole
Senyawa 1,8-cineole
merupakan senyawa aktif yang dapat mempengaruhi aktivitas lokomotor. Kovar et
al.(1987) mengemukakan bahwa 1,8-cineole dapat menstimulasi
aktivitas lokomotor mencit. Peneliti lain (Aoshima dan Hamamoto, 1999),
menyatakan bahwa 1,8-cineole memberikan respon hingga 370 %
terhadap GABA, sedangkan menurut Mussler (Mussler dalam Buchbauer et al.,
(1993)) 1,8-cineole memberikan efek spasmolitik yang kuat dengan cara
menginduksi asetil choline. Senyawa tunggal 1,8-cineole
meningkatkan aktivitas lokomotor atau stimulan terhadap SSP, namun jika
berinteraksi dalam minyak atsiri, senyawa ini akan bersinergi dengan terpen
alkohol menurunkan aktivitas lokomotor, dan bersinergi dengan a-pinene dengan menurunkan
regangan otot halus (spasmogenik). Namun, mekanisme 1,8-cineole adalah neurotropic
sedangkan a-pinene bekerja melalui mekanisme musculartropic.
Myristicin dan safrole


a b
Gambar 4. struktur myristicin
(a) dan safrole (b)
Mysristicin dan safrole
diduga kuat merupakan senyawa aktif yang dapat menurunkan aktivitas lokomotor. Hal ini
didukung oleh para peneliti (Lee et al., 1998; Olajide et al.,
1999; Sonavanne et al., 2002; Stein et al., 2001). Seperti yang
terlihat pada Gambar 16, myristicin merupakan turunan safrole dengan
substitusi gugus metoksi pada no. 4. Myristicin dan safrole
merupakan senyawa atsiri dengan dasar alilbenzena atau propil benzena yang
secara luas terdapat dalam tumbuhan aromatik. Artinya, struktur myristicin
dan safrole memiliki aktivitas kerja sama dengan phenilpropanolamine (PP)
yang dikenal sebagai sedatif kuat (Foye, 1981).
Aktivitas tersebut dapat terlihat bahwa minyak atsiri
biji pala memberikan penurunan aktivitas lokomor yang meningkat dengan
ditingkatkannya dosis. Pada inhalasi dosis 0,1 ml, 0,3 ml dan 0,5 ml minyak
atsiri biji pala terjadi penurunan aktivitas lokomotor mencit masing-masing
sebesar 62,81 %, 65,33 % dan 68,62 %. Selain itu, kadar myristicin dalam
plasma darah semakin meningkat, dengan meningkatnya waktu pemberian seperti
terlihat pada Tabel 29 (Muchtaridi et al.,
2004). Selain itu, bukti bahwa myristicin dan safrole tersebut
merupakan senyawa aktif yang menghambat aktivitas lokomotor telah diterangkan
oleh Stein et al. (2001)
dan Lee et al. (1998). Menurut keduanya, aktivitas sedatif myristicin ataupun safrole dapat terlihat dari
metabolitnya dalam darah dan urin yang mendukung senyawa tersebut memiliki
aktivitas sedatif. 3-Methoxy-4,5-methylenedioxyamphetamine (MMDA), 1-hydroxymyristicin
dan 5-allyl-1-methoxy-2,3-dihydroxybenzene merupakan metabolit dari mysristicin
dalam darah dan urin tikus. Metabolit-metabolit tersebut merupakan senyawa yang
mempengaruhi SSP (Lee et al., 1998; Stein et al., 2001)
3. Ester
Ester seperti linalyl acetate
dan geranyl acetate diduga
merupakan hasil esterifikasi dari asam karboksilat dengan senyawa-senyawa
alkohol, misalnya linalool dalam minyak atsiri kemangi dan acetic
acid dalam darah, esterifikasi ini dapat disebabkan adanya interaksi gugus
–OH dan gugus –COOH yang aktif terhadap GABA (Aoshima dan Tenpaku, 1997). Komponen-komponen atsiri dalam minyak biji pala
terdapat dalam bentuk asam lemak, seperti myristic acid, palmitic
acid, stearic acid, dan oleic acid, namun yang
teridentifikasi dalam darah dalam bentuk ester. Artinya, selama proses
metabolisme kemungkinan terjadi esterifikasi asam-asam-asam lemak tersebut
(Brunutton., 1999).
Menurut Aoshima dan Tenpaku (1997),
potensiasi GABA oleh gugus –OH sama kuatnya dengan potensiasi GABA oleh gugus
–COOH dalam ester (L=linoleic), namun jika gugus –OH disubstitusi pada linoleic
acid menjadi 13-L-hydroxylinoleic
acid, maka gugus –OH
berfungsi sebagai penghambat kerja GABA, sehingga senyawa 13-L-hydroxylinoleic acid memberikan respon yang kurang baik dibandingkan
dengan linoleic acid dan gugus alkohol.
Linalyl acetate
Pada penelitian ini, linalyl acetate (Gambar
17) ditemukan seiring dengan terdeteksinya linalool pada plasma darah
tersebut. Pada plasma darah mencit setelah inhalasi minyak daun kemangi selain
ditemukan linalool, juga ditemukan linalyl acetate baik
pada inhalasi 1 jam (9,6 mg/ml) maupun inhalasi 2 jam (0,6 mg/ml). Sama halnya dengan plasma darah setelah
inhalasi minyak daun kayu putih (seperti telihat pada Tabel 26). Namun, pada
komposisi minyak atsiri tersebut tidak ditemukan senyawa linalyl acetate,
artinya bahwa linalyl acetate kemungkinan terbentuk pada proses
esterifikasi dalam tubuh mencit.
Linalyl acetate dan linalool kemungkinan merupakan senyawa aktif dalam
menghambat aktivitas lokomotor mencit dalam penelitian ini. Hal tersebut
dibuktikan oleh Buchbauer et al. (1993). Penurunan aktivitas lokomotor
mencit setelah inhalasi linalyl acetate (tunggal) lebih besar
dibandingkan dengan setelah inhalasi linalool, hal ini mungkin disebakan
karakter lipofilitas ester lebih baik dibandingkan dengan alkohol, namun tidak
lebih besar dibandingkan dengan minyak atsiri lavender (Buchbauer et al.,
1993).
Ester berantai karbon panjang
Tabel 31 menunjukkan bahwa ester-ester
teridentifikasi pada inhalasi minyak atsiri biji pala baik pada ½ jam, 1 jam,
dan 2 jam. Methyl myristate terdeteksi pada inhalasi ½ jam , 1 jam, dan
2 jam dengan kadar semakin menurun (1,6 mg/ml, 1,4 mg/ml, dan 1,2 mg/ml),
sedangkan kadar yang paling besar dibandingkan senyawa lainnya adalah methyl
palmitate atau methyl hexadecanoate baik pada ½ jam (67,8 mg/ml), 1 jam
(72,2 mg/ml) dan 2 jam (58,7 mg/ml). Selanjutnya, methyl oleate
atau methyl octadecanoate baik pada ½ jam (23,3 mg/ml), 1 jam
(24,7 mg/ml) dan 2 jam (18,9 mg/ml) memberikan kadar terbesar kedua
setelah methyl palmitate. Adaapun data selengkapnya dapat dilihat di
Tabel 31. Kandungan asam lemak yang terdapat dalam minyak atsiri biji pala
tergolong cukup besar (Tabel 12). Asam lemak ini diduga berperan sebagai
prekursor dalam pembentukan ester. Asam-asam lemak inilah yang meberikan respon
pada GABA dengan menghambat kerja sistem syaraf pusat (SSP).
4. Terpen Hidrokarbon
Golongan hidrokarbon terpen yang
teridentifikasi dalam plasma darah umumnya adalah golongan monoterpen seperti a-pinene, b-pinene, 3-carene, limonene dan a-terpinene (Gambar 18), sedangkan golongan
seskuiterpen yang ditemukan hanya (E)-caryophillene.
Pada penelitian ini, a-pinene dan b-pinene ditemukan pada plasma darah mencit setelah inhalasi minyak
atsiri kayu putih, kedua senyawa ini diduga mempengaruhi aktivitas lokomotor
serupa seperti yang diteliti oleh Aoshima dan Hamamoto (1999) dan Buchbauer
(1993). Selain itu, senyawa selain a-pinene dan b-pinene yang terdeteksi pada penelitian ini juga, merupakan
senyawa-senyawa yang ditemukan oleh Buchbauer et al. (1991) dari 40
senyawa yang ditemukannya yang mempengaruhi SSP.
Penelitian yang dilakukan Aoshima dan
Hamamoto (1999), menunjukkan bahwa a-pinene memberikan respon hingga 149 % terhadap reseptor GABAA
(Tabel 2), respon yang terkecil jika dibandingkan dengan senyawa atsiri lain.
Derivat monoterpen umumnya bekerja berdasarkan mekanisme penghambatan musculotropic
namun beberapa senyawa bekerja pada neurotropic. Musculatropic artinya
derivat monoterpen akan menghambat enzim asetilkolinesterase, dengan cara
menginaktifkan asetil kolin spasmogenik (Buchbauer, 1993). Oleh sebab itu kadar
monoterpen dalam darah tidak terlalu besar sebab monoterpen bekerja langsung
pada otot bukan pada SSP.
Monoterpen dan seskuiterpen merupakan
hidrokarbon yang tidak memiliki gugus fungsi, sehingga aktivitas farmakologi
tidak terlalu kuat. Hal ini disebabkan karakter lipofilik hidrokarbon kurang
disukai oleh membran sel pada SSP yang sangat non polar (Aoshima et al.,
2001; Nakahiro et al., 1996).
Analisis
Senyawa Aromaterapi
Kovar et al. (1987)
menganalisis senyawa aktif aromaterapi pada minyak atsiri Rosemary
setelah diberikan secara oral dan inhalasi pada mencit. Kovar et al.
mengembangkan analisisnya dengan mengidentifikasi komponen volatil yang ada
dalam plasma darah. Setelah diberi minyak atsiri rosemary, plasma darah
mencit diambil, dan dipisahkan dari serumnya, kemudian serumnya disuntikan pada
GC-FID. Identifikasi dan kuantifikasi menggunakan standar eksternal 1,8-cineole,
sedangkan senyawa atsiri yang ada di permukaan inhalator diisolasi dengan
menggunakan headspace.
Penelitian
Kovar et al. (1987) dikembangkan oleh Buchbauer (1991) dan Jirovetz et
al. (1991 dan 1992). Jirovetz dan Buchbauer memodifikasi metode Kovar et
al. dengan melakukan preparasi terlebih dahulu terhadap plasma darah.
Plasma darah dipreparasi dengan SPE menggunakan kolom C-18 dengan eluen methanol,
supaya komponen-komponen pengganggu dapat direduksi dari sampel, sehingga kadar
senyawa atsiri yang didapatkan lebih banyak dibandingkan dengan metode
sebelumnya. Pada penelitian Kovar et al. diperoleh konsentrasi senyawa
atsiri dalam plasma darah sebesar 1-20 ng/l darah tikus yang diberikan minyak
atsiri 0,1-0,6 ml/inhalalator, sedangkan hasil modifikasi Buchbauer dan
Jirovetz pada tikus yang diberikan minyak atsiri 2 % (0,02 ml) per inhalator
diperoleh konsentrasi minyak atsiri 1-10 mg/ml atau 10-100 ng/l
darah. Penelitian lain, Recovery pada analisis miristisin dalam plasma
darah mencit setelah inhalasi minyak biji pala dengan menggunakan C18 (Sep
Pak Waters) mencapai 90 %, dibandingkan dengan tanpa perlakuan SPE, selain itu
senyawa-senyawa volatil lain lebih banyak terdeteksi seperti terlihat pada
Gambar 3 (Muchtaridi, 2003).
|

|

Gambar 5. Kromatogram ion total senyawa miristisin dalam
plasma darah mencit setelah inhalasi minyak biji pala. Gambar (a)
analisis tanpa preparasi dengan SPE-C18 (b) analisis dengan preparasi
SPE C18 (Muchtaridi, 2003).
Pada
Gambar 5 terlihat bahwa dengan penggunaan SPE, senyawa-senyawa pengotor menjadi
berkurang, bahkan kadar standar internal 1,4-diklorobenzen lebih besar (b)
dan senyawa miristisin muncul pada menit ke-17 (Muchtaridi, 2003).
KESIMPULAN
Penelitian ilmiah mengenai efek-efek biologis dari
senyawa volatile terutama minyak atsiri yang dikumpulkan dalam makalah ini
bertujuan untuk memberikan batasan yang jelas antara aromaterapi ilmiah dengan
aromaterapi yang banyak digunakan sekarang.
Secara sederhana, mekanisme kerja farmakologi dari
aromaterapi pada sistem syaraf pusat dapat disimpulkan melalui dua jalur. Jalur
yang pertama disebut jalur langsung dimana senyawa yang terinhalasi dengan
segera dibawa oleh darah untuk disuplai ke otak, sedangkan jalur kedua adalah
jalur tidak langsung dimana senyawa fragrance
yang terhisap dibawa melalui jalur olfactory nervus sebelum dibawa ke otak. Senyawa-senyawa atsiri
golongan terpen alkohol peling berperan dalam mekanisme kerja aromaterapi,
karena senyawa-senyawa tersebut dapat meningkatkan afinitas kerja reseptor GABAA.
DAFTAR PUSTAKA
Aoshima H, Y Tenpaku. 1997.
Modulation of GABA receptors expressed in Xenopus oocytes by
13-L-hydroxylinoleic acid and food additives. Biosci Biotechnol Biochem
61(12):2051-2057
Aoshima H, K Hamamoto. 1999.
Potentiation of GABAA
receptors expressed in Xenopus oocytes by Perfumes and Phytoncid. Biosci
Biotechnol Biochem 63(4):643-748
Aoshima H, SJ Hossain, K Hamamoto, T Yokoyama, M
Yamada, R Shingai. 2001. Kinetic analyses of alcohol-induced
potentiation of the response of GABAA receptors composed of a1 and b1 subunits.
J Biochem 130:703-709.
Aoshima, H. 1996. Effects of alcohols and food
additives on glutamate receptors expressed in Xenopus oocytes: specificity
in the inhibition of the receptors. Biosci Biotechnol Biochem
60(3):434-438.
Balchin LM. 1999. Possible health and safety
problems in the use of novel plant essential oils and extracts in aromatherapy.
R Soc Health 119(4):240-243
Balchin LM, S Hart. 1999. Studies on the mode
of act of the essential oil of lavender (Lavandula angustifolia P.
Miller). Phytother Res 13
(6):540-542.
Balchin LM, S Deans, S Hart. 1997. Study
of the changes in the bioactivity of essential oils used singly and as mixtures
in aromatherapy J Altern Compl Med 3 (3):249-256.
Bruneton J. 1999. Pharmacognosy,
Phytochemistry, Medicinal Plants. Second edition. Paris : Techinicue and Documentation.
p. 505-507
Buchbauer G. 2000. The detailed analysis of
essential oils leds to the understanding of their properties. Perf
flav 25:64-67.
Buchbauer G, W Jager, H Dietrich, Ch Plank, E Karamat . 1991. Aromatherapy: evidence for
sedative effects of essential oil of lavender after inhalation. J Biosc 46c:1067-1072.
Buchbauer G, L Jirovetz, W Jager .
1992. Kurmitteilungen : passiflora and lime blossom: motility effects
after inhalation of the essential oils and of some of the main constituent in
animal experiment. J Arch Pharm 325:247-248.
Buchbauer G, W Jager ,
L Jirovetz, J Ilmberger, H Dietrich. 1993. Therapeutic properties of
essential oil and fragrances. American
Chemical Society (ACS) Symposium Series 525:160-165.
Buchbauer G. 1993. Biological effects of
fragrances and essential oils. Perf. flav18:19-24.
Buchbauer G. 1996. Methods in aromatherapy
research. J Eurocos 4: 23-27.
Buckle G. 1999. Use of aromatherapy as
complementary treatment for chronic pain. J
Alter Ther 5:42-51.
Cannard G. 1996. The Effect of aromatherapy in
promoting relaxation and stress reduction in a general hospital. Compl Nurse Mid 2(2):38-40.
Denda M, T Tsuchiya, K Shoji, M Tanida. 2000.
Odorant inhalation effects skin barrier homeostasis in mice and humans. J
Dermatol 142(5):1007-1010.
Diego MA, NA
Jones, T Field, M Hernandez-Reif, S Schanberg ,
C Kuhn, V Mcdam, R Galamaga, M Galamagal. 1998. Aromatherapy positively
affects mood, EEG patterns of alrtness and math computation. Intern J Neuro 96:217-224.
Foye W. 1981. Principles of Medicinal Chemistry.
1th Edition. Philadelphia : LEA &
FEBRIGER. p. 605
Hardy M, D Michael, S Kirk, ES David, Westcotes. 1995.
Replacement of chronic drug treatment for insomnia in psychogeriathric patiens
by ambien odors. J HPIIIP Q Lancet 346:701-705.
Hossain SJ, K Hamamoto, H Aoshima, Y Hara. 2002.
Effects of tea components on the response of GABA(A) receptors expressed in Xenopus
oocytes. J Agric Food Chem 50(14):3954-3960
Jager W, G Buchabuer, L Jirovetz. 1992.
Percutaneous absorption of lavender from a message. J Soc Cosmetic Chem 43:49-54.
Jirovetz L, G Buchbauer, W Jager ,
A Woidich, A Nikiforov. 1991. Investigation of animal blood samples
after drug inhalation by Gas Chromatography/Mass Spectrometry with chemical
ionization and selected ion monitoring. J
Mas Spectro 20: 801-803.
Jirovetz L, G Buchbauer, W Jager , A Woidich, A Nikiforov. 1992. Analysis of
fragrance compound in blood samples of mice by Gas Chromatography, Mass
Spectrometry, GC/FTIR, and GC/AES after inhalation of sandalwood oil. J Bio Chrom 6:133-134.
Ketaren S. 1987. Minyak Atsiri. Jilid I. Jakarta: UI Press. p. 225
Kikuchi A, K Shiji, S Nakamura ,
T Komori, Baser. 1995. Effect of fragrance on insomniac tendency in
healthy human being. Chem tech 3:379-384.
Kirson ED, Y Yaari, M. Perouansk. 1998.
Presynaptic and postsynaptic actions of halothane at glutamatergic synapses in
the mouse hippocampus. British J Pharmacol 124:1607–1614.
Kovar, KA, B Grooper, D Fries, HPT Ammon. 1987.
Blood levels of 1,8-cineole and locomotor acivity of mice after inhalation and
oral administration of rosemary oil. J
Plan Med 53:315-318.
Lee HS, TC Jeong , JH Kim. 1998. In vitro and
in vivo metabolism of myristicin in the rat. J Chrom B 705 : 367–372
(Short communication).
Martin W. 1995. Essential oils
their lack of skin absorption, but effectiveness via inhalation. http://www.aromamedical.demon.co.uk.
[Accessed 2000 July 7].
Martin GN. 1998. Human electroencephalographic
(EEG) response to olfactory stimulation: two experiments using the aroma of
food. Int J Psichop 30(3):287-302.
Mijin DZ, DP Slobodan, GA Dusan 1999.
Gas Chromatographic retention indices of
2-phenyl-2-alkylacetoniriles on packed column. The Sci Fac Univ 2(1):1-8.
Muchtaridi, A Apriyantono, A Subarnas, and S
Budijanto , J Levita. 2004. Analysis of compounds possessing inhibitory properties on mice locomotor
activity from essential oils of nutmeg seeds (Myristica fragrans HOUTT).
J. Natura Acta et Math. Paper
submitted received November 2004.
Muchtaridi, Apriyantono,
A., Subarnas, A., & Budijanto, S. 2003. Analysis of volatile active compounds of
essential oils of some aromatical plants possessing inhibitory properties on
mice locomotor activity. Proceeding
in International Symposium on Biomedicine, Bogor
: Biopharmaca Centre IPB, 18-19 September 2003. p. 31
Muchtaridi,
2003. Muchtaridi, Apriyantono, A.,
Subarnas, A., & Budijanto, S. 2003. Analysis
of volatile active compounds of essential oils of some aromatical plants
possessing inhibitory properties on mice locomotor activity. J. Farmaka 1(1):
7-17.
Nakahiro M, O Arakawa, T Narahashi. 1991.
Modulation of gamma-aminobutyric acid receptor-channel complex by alcohols. J
Pharmacol Exp Ther 259(1):235-40. [Abstract].
Nakahiro M, O. Arakawa, T. Nishimura,
T. Narahashi. 1996. Potentiation of GABA-induced Cl- current by a series of
n-alcohols disappears at a cutoff point of a longer-chain n-alcohol in rat
dorsal root ganglion neurons. Neurosci Lett 23 205(2):127-130.
Nasel Ch, B Nasel, P Samec, E Schindler , G Buchbauer. 1994. Functional imaging
of effects of fragrances on the human brain after prolonged inhalation. J Chem Senses 19:259-264.
Nogrady T. 1988. Medicinal
Chemistry. 2nd Edition. Oxford : Oxford
University Press.
p. 276-290
Nusser Z,
LM Kay, G Laurent, GE Homanics, I Mody. 2001. Disruption of GABAA receptors on GABAergic
interneurons leads to increased oscillatory power in the olfactory bulb
network. J Neurophysiol 86:2823-2832.
Olajide OA, FF Ajayi, AI Ekhelar, SO
Awe, JM Makinde, AR Alada. 1999. Biological effects of Myristica
fragrans (nutmeg) extract. J Phytother Res 13(4):344-345
Sonavane GS, S
Vikram , K Veena, BK Sanjay. 2001. Behavioural action of Myristica Fragrans HOUTT seeds.
Indian J Pharmacol 33:417-424.
Sonavane GS, VP Sarveiya, VS Kasture, SB Kasture. 2002.
Anxiogenic activity of Myristica fragrans HOUTT seeds. J Pharmacol
Biochem Behav 71(1-2):239.
Stein U, H Greeyer, H Hentschel. 2001. Nutmeg
(myristicin) poisoning report on a fatal case and a series of case recorded by
a poison information centre. J Forensic Sci Int 118:87-90.