Sabtu, 11 Juli 2009

”Warning” Formalin, Perlukah?



http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/13/0902.htm

Larangan formalin sebagai bahan berbahaya bukan hal yang baru, karena pemerintah mengeluarkan larangan formalin digunakan dalam makanan sejak tahun 1988 lewat Permenkes No। 722/Menkes/Per/IX/88, bahkan Amerika Serikat melarang keras formalin sejak tahun 1904.



PENGGUNAAN formalin dalam makanan merupakan berita hangat beberapa stasiun televisi dan media massa lainnya। Menurut laporan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Jakarta, 58 sampel dari 98 sampel tahu, mi, ikan, bakso, dan sosis mengandung formalin, bahkan Sampurno (Kepala BPOM) menambahkan sebagian dari 761 sampel positif formalin। Artinya, lebih dari 50% sampel makanan mengandung zat pengawet mayat tersebut. Sampel yang terdaftar di POM saja mengandung formalin, apalagi sampel yang tak terdaftar, yang jumlahnya di pasar tradisional lebih banyak dibandingkan dengan yang terdaftar.


Sebetulnya, larangan formalin sebagai bahan berbahaya bukan hal yang baru, karena pemerintah mengeluarkan larangan formalin digunakan dalam makanan sejak tahun 1988 lewat Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88, bahkan Amerika Serikat melarang keras formalin sejak tahun 1904. Namun, penggunaan formalin semakin marak. Kalau dulu hanya di mi basah, tahu, dan bakso, sekarang menyebar pada sosis, ikan, dan daging ayam segar.

Bahaya formalin

Memang, kasus ini ditanggapi dingin saja oleh masyarakat, tidak seperti kasus keracunan dioksin, atau infeksi flu burung yang dikhawatirkan masyarakat. Apakah dioksin dan flu burung langsung menelan korban meninggal, sedangkan formalin tidak langsung menelan korban meninggal, sehingga masyarakat tidak begitu merespons dengan kasus ini? Atau apakah pemerintah menganggap bahaya formalin sama dengan bahaya rokok?, sehingga hanya sekadar peringatan saja pada masyarakat tanpa tindak lanjut hukum yang tegas? Bahaya formalin sudah diteliti banyak pakar kesehatan dunia, bahkan tahun 1984 WHO melaporkan 12 kasus kematian akibat keracunan formalin.

Formalin atau formaldehid sangat reaktif, bereaksi cepat dengan lapisan lendir, saluran pencernaan, dan saluran pernapasan. Senyawa ini telah digunakan sejak 100 tahun lalu sebagai desinfektan, bahan pembuatan sutra sintetik, antikusut bahan tenun di industri tekstil, pengeras film dalam fotografi, dan yang paling terkenal adalah pengawet mayat. Toksiknya formalin terutama adalah merusak membran mukosa dan mengiritasi sistem pencernaan secara perlahan hingga menjadi kanker. Wanita yang tercemar formalin secara berlebihan akan mengalami kegagalan fungsi reproduksi. Menurut laporan WHO (1989), pemberian formalin melalui mulut menyebabkan pencernaan akut, dapat menyebabkan luka pada ginjal, disurea, gangguan saluran cerna akut yang mengakibatkan pada kematian karena udema pada paru-paru, serta kegagalan respirasi. Penelitian (1989) menyebutkan, formalin mempunyai ambang batas tertentu yang dapat memengaruhi keadaan organ tubuh tertentu (ambang batas pada alat pernapasan 0,05-1 ppm, iritasi mata 0,01-2,0 ppm, iritasi pernapasan 0,08-1,6 ppm, gangguan paru 5-30 ppm, dan kematian >500 ppm). Pemakaian formalin pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia, yaitu rasa sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, timbulnya depresi susunan syaraf, dan kegagalan peredaran darah.

Sudah menjadi ciri khas negeri ini, tidak ada kasus kematian, tidak ada tindakan khusus, meskipun formalin berbahaya sekali, bahkan menyebabkan kanker, tetapi sekali lagi belum ada kasus besar seperti infeksi flu burung atau antraks yang langsung menelan kematian akibat formalin, sehingga menurunkan citra pemerintah dan menyebabkan kekhawatiran di masyarakat.

Dalam hal birokrasi, jelas BPOM (Badan (pusat) atau Balai Besar (Provinsi) Pengawas Obat dan Makanan) yang paling berwenang untuk memeriksa dan mengawasi keamanan makanan yang beredar di Indonesia, namun saya pikir tenaga peneliti di BPOM sudah kepayahan menghadapi industri makanan, mulai dari pendaftaran, standardisasi, dan pemeriksaan, sedangkan pekerjaan BPOM bukan saja makanan, tetapi mereka juga harus memeriksa dan mengawasi peredaran kosmetika dan obat.

Publikasi BPOM tanggal 27 Desember 2005 baru tentang penggunaan formalin saja, bagaimana penggunaan rhodamin B, pewarna merah tekstil yang sudah menyebar pada jajanan di sekolah (TK, SD, dan SMP)? Atau boraks, cemaran mikotoksin? Begitu menumpuknya pekerjaan BPOM di daerah.

Belum lagi fasilitas di BPOM yang tersedia, berapa HPLC, spektroskopi, pereaksi yang mereka punya? Tidak cukup untuk memantau seluruh produk makanan di Indonesia? Jadi, selama ini BPOM memeriksa bahan makanan yang rawan keamanan pangan saja dan bahan permintaan dan pihak luar? Misalnya, BPOM tidak sempat memantau es batu yang sering digunakan untuk es campur, es cendol jajanan tradisional. Padahal menurut penelitian mahasiswa kami, pada beberapa kasus kandungan cemaran bakteri dan logam berat pada es batu melewati ambang batas. Jadi, masalah pertama adalah BPOM masih butuh bantuan respons dari masyarakat, oleh karena keterbatasan tenaga mereka?

Masalah kedua dalam birokrasi, BPOM memang mempunyai kewenangan menyidik, seperti halnya kepolisian. Namun, setelah BPOM menyerahkan ke pengadilan, apa yang dilakukan oleh pengadilan? Entahlah, kasus yang diserahkan BPOM ke pengadilan umumnya menguap di permukaan, entah menguap di BPOM, kepolisian atau di pengadilan hubungan BPOM dengan Deperindag selama ini dalam kewenangannya menutup industri, mungkin baik-baik saja, kecuali jika sudah dicampuri urusan politik, seperti kasus Ajinomoto. Jadi, masalah kedua dalam birokrasi adalah koordinasi yang begitu lemah antara BPOM dengan penegak hukum.

Sebagai pendidik, peneliti, dan pengabdi masyarakat, saya mempunyai pemikiran dalam menyelesaikan masalah pertama. BPOM hendaknya menggandeng perguruan tinggi, (selain kerja sama untuk kuliah praktik para calon apoteker), tetapi bekerja sama dengan para peneliti perguruan tinggi dalam pemantauan di lapangan.

Pendidikan tinggi memiliki sumber daya peneliti yang banyak, dan setiap staf membawahi mahasiswa yang harus dia bimbing. Seandainya saja, tim Surveilan BPOM mengadakan pelatihan pemeriksaan dengan mengundang staf peneliti/pengajar pada pendidikan tinggi yang memiliki disiplin ilmu farmasi dan ilmu makanan (2 disiplin ini memiliki keahlian dalam makanan dan obat), saya pikir hal itu menjadi kredit poin bagi mereka untuk membantu kerja BPOM di lapangan. Misalnya, penyuluhan keamanan pangan dan keamanan penggunaan bahan berbahaya pada masyarakat, dapat dimanfaatkan oleh staf pengajar yang sudah memiliki sertifikat Surveilan sebagai bahan pengabdian masyarakat (salah satu poin kewajiban seorang dosen), atau para staf peneliti memberikan judul pada penelitian mahasiwa tugas akhir dalam pemeriksaan sampel di lapangan (untuk hal ini, perlu dilakukan validasi analisis yang terstandar).

Penyelesaian masalah kedua menyangkut masalah penegakan hukum, yang dikupas pada bahasan di bawah ini.

Tegaknya hukum

Undang-Undang (UU) atau peraturan yang mengatur sudah jelas, tetapi seperti layaknya Peringatan Pemerintah bahwa Merokok Merusak Kesehatan, agaknya UU atau peraturan di Indonesia hanya menjadi hiasan. UU Nomor 7 Tahun 1996 mengatur bahwa kesengajaan penggunaan bahaya sebagai bahan tambahan makanan, dikenakan denda maksimal Rp 600 juta, dan penjara 5 tahun, namun pengusaha baik industri kecil maupun besar tidak takut. Mengapa demikian? Simak saja kasus di Pontianak. BPOM telah mengajukan pengusaha ke pengadilan yang telah berulang kali melakukan penambahan formalin dan boraks dalam mi kuning, namun pada tahun 2002 pelanggar hanya didenda Rp 75.000,00 atau pelakunya dikenal Tipiring (Tindakan Pidana Ringan), padahal sudah jelas dalam UU diatur bahwa pelanggaran ini merupakan sanksi berat.

Kepala Badan BPOM meminta bantuan masyarakat untuk berhati-hati dan ikut mengawasi adanya formalin, boraks, rhodamin, dan zat berbahaya lain dalam makanan. Anjuran yang positif, tapi sayang untuk menuntut industri yang merugikan masyarakat saja, kita harus bayar Rp 250.000,00 per perkara.

Saya akan merasa ikut prihatin yang sangat dalam pada BPOM, sudah bersusah payah melakukan tugas, memeriksa, mengawasi, dan menyidik, tetapi pelanggarnya hanya dikenai sanksi bayar denda Rp 75.000,00 saja, belum teror-teror dari pengusaha pelanggar.

Jika penegakan hukum tidak diubah, pelaku tidak ditindak tegas, bukan mustahil jika tahun 2010 (Tahun Indonesia Sehat) masyarakat kita banyak yang mengidap kanker di pencernaan atau paru-parunya, para wanita penggemar baso susah memiliki keturunan, para putra negeri penuh kotoran di otaknya. Dan, BPOM mengeluh karena tugas semakin menumpuk.

Jadi, seperti halnya kasus keracunan dioksin, pemerintah harus me-warning para pengusaha baik industri kecil maupun besar. Jika terbukti melakukan pelanggaran (bukan hanya formalin tetapi seluruh zat berbahaya yang tidak boleh ada pada makanan), hukum pelaku sesuai UU, tutup pabriknya!!***

MUCHTARIDI, Lektor pada kuliah Analisis Kimia Bahan Makanan, Jurusan Farmasi Unpad Bandung.

Tidak ada komentar: